INES SOMELLERA
Maria
Hartiningsih dan Frans Sartono
Hidup selalu diisi
kebetulan-kebetulan bermakna yang membawa seseorang menuju tujuan yang
dikehendakinya. Seperti sudah digariskan. Begitu Ines Somellera (45) memaknai
pengalamannya.
Nama Ines tak terpisahkan dari yoga,
praktik yang menyatukan gerak tubuh dengan pikiran dan perasaan, bersumber dari
teks-teks kuno India yang konon usianya lebih dari 3.000 tahun. Namun, kata
Ines, evolusi alamiah menjadikan ekspresi yoga disesuaikan dengan kebutuhan
hari ini, menjadi milik siapa pun, bisa ditemui di mana saja, dan saling
memengaruhi.
”Yoga adalah pengetahuan tentang
bagaimana tubuh bekerja dan tentang kesalingterkaitan antara tubuh, pikiran,
dan perasaan. Yoga membantu kita memerhatikan dengan baik tubuh kita, diri
kita, dan apa pun yang ada di alam,” katanya melanjutkan.
Ines paham kehidupan di kota besar
membuat orang seperti mesin. Kesibukan membuat orang terpenjara oleh waktu dan
tak mampu mengingat hakikat alamiahnya. Pada waktu istirahat, pikiran melayang.
Sebaliknya, saat tubuh kelimpahan energi, orang sibuk bekerja dalam duduk dan
berpikir.
Akibatnya, energi terperangkap di
dalam tubuh, menyebabkan rasa sakit, yang mungkin bisa diatasi dengan obat,
tetapi akarnya tak tersentuh; hidup tak berimbang itu.
Tubuh manusia dirancang untuk
bergerak, tetapi banyak orang hanya punya sedikit pengetahuan bagaimana tubuh
bekerja. ”Mereka memerlukan yoga untuk membantu melanjutkan perjalanan,” begitu
Ines menyederhanakan bahasa sulit para yogi, seperti BKS Iyengar.
Cermin hati
Kita harus berhenti berpikir bahwa
yoga itu sulit, lanjut Ines. ”Saya sangat suka mengajar dan berbagi untuk
bilang, yoga tidak sulit,” tuturnya.
Yoga itu sederhana karena semua
berawal dari bernapas. Kita tidak memulai dengan melipat kaki di bawah kaki.
”Kalau saya bilang, ayo letakkan
tanganmu di punggung,” ia menggerakkan tangannya ke punggung, ”Pikiranmu harus
mengikuti gerakan, berhenti memikirkan yang lain. Kembalikan pikiran ke
tubuhmu.” Kata orang bijak, yoga adalah cermin hatimu.
”Kalau berlatih dengan perasaan tak
keruan, atau sedang marah, tidak fokus dan nervous, akan ada saja yang salah
dari gerakanmu,” kata Ines.
Makin banyak berlatih, makin banyak
kesempatan memberimbangkan tubuh dengan pikiran dan perasaan karena saat
melakukan yoga kita berada di wilayah yang paling intim dengan diri sendiri.
Ines selalu mengatakan, yoga adalah
seni; sempurna untuk merayakan hidup. ”Yoga membantumu menjadi anggun dan
cantik. Cantik itu bukan kesempurnaan bintang Hollywood, tetapi ketika Anda
mencapai keberimbangan.”
Ines memasukkan unsur yoga dalam
setiap kegiatan berkesenian, dan sempat berkolaborasi dengan banyak seniman
tari. Belakangan ia juga jatuh cinta dengan pencak silat dari Sumatera setelah
berkenalan dengan komunitas seni Gusmiati Suid. Namun sebenarnya ia jatuh cinta
dengan ragam budaya di Indonesia
”Saya juga mencintai Bedoyo,”
ungkapnya, menyebut tarian adiluhung dari Keraton Solo dan Yogyakarta itu,
”Tapi susah. Hal terdekat ke Bedoyo adalah tai chi karena tai chi memiliki
gerakan yang sangat lambat dan lembut. Melalui pernapasan kita membuat gerakan
dan keberimbangan.”
Lalu, bagaimana Ines mengenal yoga?
”Bisa dibilang, yoga memilihku.” Ia
mengenang peristiwa patah hati ketika usianya 15 tahun. ”Seperti datang begitu
saja, menyelamatkan saya dari kesedihan. Lalu, saya selalu membawanya dalam
perjalanan hidup.”
Menemukan diri
Sebenarnya yoga bukan sesuatu yang
asing. Di kota tempat tinggalnya, di Guadalajara, Meksiko, pusat pelatihan yoga
bertebaran. Ayahnya bahkan pernah membuka yoga center.
Namun, anak kedua dari tiga
bersaudara itu sibuk belajar seni pertunjukan. Ia ingin menjadi aktris.
Orangtuanya menentang, dan mengirimkannya kuliah di jurusan komunikasi, yang
ternyata adalah jalan menuju cita-citanya.
Kebosanan akan hiruk pikuk New York
membawa Ines kembali ke Bali, padahal kariernya dalam seni pertunjukan, boleh
dibilang, sedang di puncak.
”Saya ingin keluar dari dunia Barat
yang segala sesuatunya telah menjadi repetitif, dan banyak kekerasan setelah tragedi
11 September. Saya ingin menemukan diri saya yang baru....”