Rabu, 30 Maret 2011

Usang yang Berkelas

InteriorPoste Restaurant and Bar di Gedung East di Kawasan Lingkar Mega Kuningan, Jakarta Selatan.

Sarie Febriane addapted by Kevin

Di Jakarta, tempat ”kongkow” seperti restoran dan bar tak cukup hanya menjanjikan kenikmatan makanan dan minumannya. Atmosfer ruangan harus diciptakan melalui tata ruang yang berkarakter dan membuat betah.

Tata ruang restoran dan bar seperti apa yang kini menggejala di Jakarta, yang konon senang berdandan serba gemerlap ini?

Bagi kaum urban Jakarta, khususnya kalangan eksekutif muda alias ”eksmud”, tempat nongkrong yang asyik bukanlah tempat yang serba bling-bling alias gemerlapan. Tempat nongkrong yang nyaman justru yang tampil lebih sederhana, bahkan ”diusang-usangkan”. Meski begitu, sentuhan selera yang berkelas tetap terlihat.

Poste Restaurant and Bar di East Building di kawasan bisnis elite di Mega Kuningan, misalnya, mendesain ruangnya jauh dari unsur kegemerlapan. Interior Poste yang baru direnovasi itu didesain oleh Alvin Tjitrowirjo, yang selama ini dikenal sebagai desainer produk. Poste merupakan karya Alvin perdana untuk desain interior.

Pemilihan material, mulai dari lantai, dinding, perabot, hingga pernak-pernik ruangan, menghadirkan atmosfer yang serba kosmopolitan, bohemian, santai, dan tak berlebihan. Warna-warna netral, seperti putih, abu-abu, kecoklatan, dan hitam, berserak di berbagai penjuru ruangan dalam komposisi yang pas.

Alvin misalnya memilih lantai berwarna abu-abu usang, dinding bata ekspos berwarna putih, kayu bekas peti kemas coklat muda untuk lemari minuman di meja bar, kursi kayu coklat tua berlekuk sederhana, kartu-kartu pos tua sebagai penghias dinding, hingga koper-koper tua yang telah usang.

”Konsep haute bohemian yang memang ingin kita tampilkan sehingga pengunjung merasakan suasana yang nyaman dan santai, tetapi tetap berkelas,” kata Alvin.

Seluruh material diatur dalam komposisi yang tak berlebihan, tidak menor. Berbagai ornamen serba vintage (berkesan usang dan kuno) dari berbagai negara dihadirkan secukupnya sehingga tidak membuat keseluruhan ruangan menjadi serupa museum ataupun galeri pameran.

Hal itu boleh jadi karena area kosong tetap dihadirkan sedemikian rupa. ”Kekosongan” itu juga berkat dominasi warna putih dof melalui material seperti dinding bata ekspos, jendela-jendela besar berkaca bening yang membingkai area hijau di luar restoran, meja makan marmer, hingga meja bar.

”Meskipun ada nuansa tradisional, kuno, tetapi tidak ditampilkan berat sehingga secara keseluruhan, penampilannya tidak seperti berteriak,” imbuh Justina S Harjono, pemilik Poste.

Di ruang bagian dalam yang dibingkai oleh jendela-jendela besar, corak geometris lantai tampil lebih berwarna dengan paduan hitam, merah, putih, dan kuning tua. Ubin tersebut menurut Alvin dipesan di Yogyakarta dan dikerjakan satu per satu oleh perajin tradisional. Meski berwarna lebih ramai, ubin dibiarkan tampak kusam, tidak dipoles.


Berkarakter industrial

Keusangan juga tampak kuat dalam penataan ruang di restoran dan bar Potato Head, yang juga di kawasan bisnis, Pacific Place, SCBD. Restoran dan bar ini juga menyasar kalangan bisnis berusia muda, baik lokal maupun ekspatriat, utamanya yang berkantor di SCBD.

Emmelyn Gunawan, humas Potato Head (PH) mengatakan, konsep desain PH adalah industrial setting di awal era 1930-an. Kesan vintage yang usang dipadukan dengan unsur modern dari meja makan serta kursi Tolix dan Thonet dari Perancis. Desain PH digarap oleh Andra Martin dengan mengadaptasi gagasan dari kedua pemilik PH, Jason Gunawan dan Ronald Akili.

”Kami ingin pengunjung merasa berada di dunia yang playful dan quirky. Jadi, rasanya bisa santai,” kata Emmelyn.

Unsur keusangan itu tampak pada pemilihan material, seperti potongan jendela dan pintu krepyak tua, tegel abu-abu dalam potongan kecil buatan Yogyakarta, pintu kayu yang mengelupas, lemari hijau dari rumah sakit tua di Perancis, sampai pagar besi yang sudah berkarat. Karat pada pagar besi di lantai dua restoran malah dipelihara dengan dilapisi cairan khusus. Lampu-lampu gantung di sepanjang meja bar juga dimodifikasi dari bekas hidung mesin pesawat terbang tua di tahun 1930-an.

”Seluruh material dikumpulkan dari berbagai pelosok di Indonesia, Perancis, dan Melbourne (Australia),” kata Emmelyn.

Dalam hal pencahayaan ruang, baik Poste maupun Potato Head sama-sama memanfaatkan pencahayaan alami di siang hari dan pencahayaan tak langsung di malam hari. Pencahayaan alami itu berkat jendela-jendela berukuran besar di Poste dan pemanfaatan area teras di Potato Head. Pencahayaan tak langsung dimainkan dengan cara membiaskannya ke dinding sehingga kesan dramatis muncul.

Dengan penataan yang tak berlebihan, material serba usang rupanya secara keseluruhan mampu tampil berselera dan berkarakter. Tanpa lantas menimbulkan kesan berat dan membikin jenuh.



Jumat, 25 Maret 2011

TENUN





Cantik dan Fungsional dalam Interior
Oleh Ninuk Mardiana Pambudy, diadaptasi oleh Kevin
Batik di dalam interior bukan hal baru, bahkan batik telah menghiasi ruangan-ruangan hotel berbintang lima berlian dan rumah-rumah di Indonesia dan beberapa negara. Akan tetapi, Indonesia masih memiliki kain tenun tradisional yang corak dan jenisnya tak kalah kaya, yaitu kain tenun tangan.
Sejumlah desainer interior dan desainer tekstil Indonesia telah bekerja menggunakan tenun alat tenun bukan mesin (ATBM) karya perajin. Meskipun menghadapi sejumlah tantangan, mereka mengakui peluang pemanfaatan tenun dalam produk interior.
Salah satunya adalah corak yang eksklusif. Andi Lim, misalnya, menggunakan tenun dari Cirebon untuk membuat kain pelapis bagian kepala tempat tidur, selain sarung bantal dan kain kursi. Dia juga menggunakan kain tenun Palembang yang sudah dimodifikasi warna dan ketebalan benangnya untuk kain kursi dan alas piring makan.
Desainer interior Agam Riadi juga sepakat kain tenun Nusantara yang kaya corak sangat mungkin dimanfaatkan dalam interior. Yang terpenting adalah kemampuan memadukan corak yang meriah tersebut dengan benda-benda lain di dalam ruangan.
Intinya, kain tenun dapat dimanfaatkan lebih dari sekadar sarung bantal. Itu pula yang diperlihatkan oleh 13 perancang interior beberapa waktu lalu di Jakarta saat ikut memeriahkan ulang tahun kedua Cita Tenun Indonesia (CTI). Selain Agam dan Andi, juga dipamerkan desain dari Ary Juwono, Anita Boentarman, Eko Priharseno, Bobos (Reza Wahjudi), Fifi Fimandjaja, Tuni Jie, Prasetio Budhi, Roland Adam, Joke Roos, Sammy H Syamsulhadi, dan Shirley Gouw.
Dalam kekayaan corak, warna, dan teksturnya, tenun ATBM dapat hadir dalam berbagai bentuk. Ary Juwono menghadirkan desain kamar mandi minimalis dengan penyekat memakai tenun NTT dalam corak primitifnya yang khas dan dalam warna tanah. Efeknya terasa dramatis ketika berpadu dengan bak mandi rendam dan lantai berwarna putih. Untuk mempertahankan efek minimalis dengan sentuhan tenun tetap hadir, Ary menggunakan corak tenun ke dalam ukiran di dinding, lantai, dan bak mandi.
Agam Riadi memilih kain limar dari Palembang dalam desain interior yang memadukan gaya klasik interior Barat dan Timur. Untuk tidak membuat ruangan terasa semakin penuh, Agam menggunakan tenun limar sebagai sarung bantal.
Paduan Timur dan Barat karya ke-13 perancang interior tersebut hadir dalam gaya minimalis, klasik, elegan, atau resor di ruang kerja, ruang tidur, ruang makan atau ruang keluarga.