INTERIOR



Interior | Design


Keruwuten sebuah kota besar selalu membawa inefisiensi. Waktu terbuang oleh kemacetan an energi terbuang sia-sia. Hal-hal tidak menyenangkan itu umumnya akibat perencanaan yang tidak sesuai dengan kenyataan. (Arbain Rambey, Kompas,Minggu 04/07/2010)


Perpindahan penduduk yang tidak terkendali menimbulkan penumpukan berbagai moda transportasi yang berujung pada kemacetan total. Untuk wilayah Jakarta saja, cobalah Ada bayangkan bagaimana bisa penduduk Pamulang bekerja di daerah Tanjung Priok. Atau juga penduduk Tangerang bekerja di Bekasi. Silang meyilang perpindahan pendudu setiap hari inilah yang membuat kemacetan Jakarta.


Tidak mudah untuk membuat sebuah sistem kota yang bisa efisien, artinya di blok tertentu sebuah kota sudah tersedia segala hal yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup satu komunitas. Artinya, di blok itu sudah tersedia segal kebutuhan seperti kantor, perumahan, pusat hiburan, sampai dengan pusat perbelanjaan. Sebuah kota modern sebaiknya terbuat dari beberap subkota agar secara keseluruhan tidak ada pola perpindahan yang tidak karuan, Dan, dalam skala kecil, subkota ini sering disebut sebagai superblock.
Sebenarnya sudah banyak upay untuk membuat supeblock ini di berbagai kota di dunia. Tapi, dalam kenyataannya, di dalam superblock-superblock itu masih terjadi inefisiensi, misalnya masih dibutuhkan alat transportasi baru yang akhirnya menimbulkan masalah baru pula.
TOKYO MIDTOWN
Di kota Tokyo, Jepang sejak bulan Maret tahun 2007 telah beroperasi sebuah superblock bernama Tokyo Midtown (TM), yang bisa dikatakan merupakan kawasan paling efisien saat ini. Terletak di kawasan Roppongi di daerah Minato. TM adalah sebuah kawasan yang dibuat menggatntikan kawasan lama yang dinilai tidak efisien dan usang. Peletakan batu pertama pembangunannya dilakukan 18 mei 2004.
Dengan luas tanah 78.000 m2 atau cuma sekitar 8 hektar, TM mempunyai luas efektif 569.000 m2 alias sampai delapan kali luas tapaknya. Hal ini bisa terjadi dengan pemanfaatan bangunan bertingkat. Pada TM ini, menara utamanya yang setinggi 248 m adalah bangunan tertinggi keempat di Jepang setelah Menara Yokohama, WTC Osaka dan Izumisano Rinku Tower.
Salah satu arsitek terkemuka Indonesia Ridwan Kamil, yang mengajak dan mengunjungi TM akhir Juni lalu, menuturkan bahwa sampai saat ini TM adalah salah satu superblock yang masih jadi bahan pembicaraan hangat di kalangan arsitek.
"TM menggabungkan segala kebutuhan manusia dari bertempat tinggal, bekerja, sampai dengan berekreasi dengan nyaman dan efisien," katanya.
Di TM, segala keperluan bisa dicapai penghuninya dengan berjalan kaki secar nyaman. Penghubung antargedung tidak cuma di bagian bawah. Ada beberapa jemagatan penghubung dibagian atas dengan penempatan yagn sangat memerhatikan estetika.
Kalau diperhatikan dengan teliti, bangunan-bangunan TM dibuat dengan konstruksi sederhanan, banyak yang memakai konstruksi besi. Di beberapa titik terlihat jelas baja profil I yang dipergunakan.
Walau beigtu, baja profil I yang scar umum berpenampilan sangat kaku telah disamarkan dengan penutup dari panel aluminium bewarna. Hasilnya adalah sebuah tampilan modern, mudah dirawat, dantetap tejamin kekuatannnya.
Berbagai Keperluan.
Yang sangat menarik adalah TM, yang oleh penduduk Jepang disebut dengan Tokyo Midtaun, sejak awal sudah menarik banyak penyewa papan atas. Di menara utamanya, Hotel Ritz-Carlton sudah menyewa lantai 47 sampai 53 sebagai cabang pertama di Jepang. Tidak tangung-tanggung, hotel ini menyewa dengan perjanjian jangka panjang, suatu yang tidak lazim di Jepang. Di menara utama juga terdapat Suntory Museum of Art.
Secara keseluruhan, luas perkantoran yang dimiliki TM adalah 330.000 m2 dan telah dihuni oleh perusahaan-perusahaan kakap, antara lain Fuji Film, Xerox, Yahoo!Japan, Cisco Japa, Nikko, dan UNIQLO. Tidak ketinggalan pulah Rumah Sakit John Hopkins dari AS. Sebuah rancangan yang baik terbukti bisa menarik minat berbagai perusahaan besar.
TM dibangun dengan biaya total sekitar 3 miliar dollar AS. Arsitek yang merancangnya adalah Skidmore dan Owing and Merril. Sementara arsitek lokal yang ikut merancangnya adalah Nikken Sekkei.
"Saya merindukan adanya superblock sebaik in di Indonesia," kata Ridwan Kamil.