Senin, 02 Februari 2015

Yoga Bersama INES

INES SOMELLERA
Maria Hartiningsih dan Frans Sartono

Hidup selalu diisi kebetulan-kebetulan bermakna yang membawa seseorang menuju tujuan yang dikehendakinya. Seperti sudah digariskan. Begitu Ines Somellera (45) memaknai pengalamannya. 

Nama Ines tak terpisahkan dari yoga, praktik yang menyatukan gerak tubuh dengan pikiran dan perasaan, bersumber dari teks-teks kuno India yang konon usianya lebih dari 3.000 tahun. Namun, kata Ines, evolusi alamiah menjadikan ekspresi yoga disesuaikan dengan kebutuhan hari ini, menjadi milik siapa pun, bisa ditemui di mana saja, dan saling memengaruhi. 

”Yoga adalah pengetahuan tentang bagaimana tubuh bekerja dan tentang kesalingterkaitan antara tubuh, pikiran, dan perasaan. Yoga membantu kita memerhatikan dengan baik tubuh kita, diri kita, dan apa pun yang ada di alam,” katanya melanjutkan.

Ines paham kehidupan di kota besar membuat orang seperti mesin. Kesibukan membuat orang terpenjara oleh waktu dan tak mampu mengingat hakikat alamiahnya. Pada waktu istirahat, pikiran melayang. Sebaliknya, saat tubuh kelimpahan energi, orang sibuk bekerja dalam duduk dan berpikir.

Akibatnya, energi terperangkap di dalam tubuh, menyebabkan rasa sakit, yang mungkin bisa diatasi dengan obat, tetapi akarnya tak tersentuh; hidup tak berimbang itu.

Tubuh manusia dirancang untuk bergerak, tetapi banyak orang hanya punya sedikit pengetahuan bagaimana tubuh bekerja. ”Mereka memerlukan yoga untuk membantu melanjutkan perjalanan,” begitu Ines menyederhanakan bahasa sulit para yogi, seperti BKS Iyengar.

Cermin hati 

Kita harus berhenti berpikir bahwa yoga itu sulit, lanjut Ines. ”Saya sangat suka mengajar dan berbagi untuk bilang, yoga tidak sulit,” tuturnya.

Yoga itu sederhana karena semua berawal dari bernapas. Kita tidak memulai dengan melipat kaki di bawah kaki.

”Kalau saya bilang, ayo letakkan tanganmu di punggung,” ia menggerakkan tangannya ke punggung, ”Pikiranmu harus mengikuti gerakan, berhenti memikirkan yang lain. Kembalikan pikiran ke tubuhmu.” Kata orang bijak, yoga adalah cermin hatimu.

”Kalau berlatih dengan perasaan tak keruan, atau sedang marah, tidak fokus dan nervous, akan ada saja yang salah dari gerakanmu,” kata Ines.

Makin banyak berlatih, makin banyak kesempatan memberimbangkan tubuh dengan pikiran dan perasaan karena saat melakukan yoga kita berada di wilayah yang paling intim dengan diri sendiri.

Ines selalu mengatakan, yoga adalah seni; sempurna untuk merayakan hidup. ”Yoga membantumu menjadi anggun dan cantik. Cantik itu bukan kesempurnaan bintang Hollywood, tetapi ketika Anda mencapai keberimbangan.” 

Ines memasukkan unsur yoga dalam setiap kegiatan berkesenian, dan sempat berkolaborasi dengan banyak seniman tari. Belakangan ia juga jatuh cinta dengan pencak silat dari Sumatera setelah berkenalan dengan komunitas seni Gusmiati Suid. Namun sebenarnya ia jatuh cinta dengan ragam budaya di Indonesia
”Saya juga mencintai Bedoyo,” ungkapnya, menyebut tarian adiluhung dari Keraton Solo dan Yogyakarta itu, ”Tapi susah. Hal terdekat ke Bedoyo adalah tai chi karena tai chi memiliki gerakan yang sangat lambat dan lembut. Melalui pernapasan kita membuat gerakan dan keberimbangan.”

Lalu, bagaimana Ines mengenal yoga?

”Bisa dibilang, yoga memilihku.” Ia mengenang peristiwa patah hati ketika usianya 15 tahun. ”Seperti datang begitu saja, menyelamatkan saya dari kesedihan. Lalu, saya selalu membawanya dalam perjalanan hidup.”

Menemukan diri 

Sebenarnya yoga bukan sesuatu yang asing. Di kota tempat tinggalnya, di Guadalajara, Meksiko, pusat pelatihan yoga bertebaran. Ayahnya bahkan pernah membuka yoga center.

Namun, anak kedua dari tiga bersaudara itu sibuk belajar seni pertunjukan. Ia ingin menjadi aktris. Orangtuanya menentang, dan mengirimkannya kuliah di jurusan komunikasi, yang ternyata adalah jalan menuju cita-citanya. 

Kebosanan akan hiruk pikuk New York membawa Ines kembali ke Bali, padahal kariernya dalam seni pertunjukan, boleh dibilang, sedang di puncak.

”Saya ingin keluar dari dunia Barat yang segala sesuatunya telah menjadi repetitif, dan banyak kekerasan setelah tragedi 11 September. Saya ingin menemukan diri saya yang baru....”