InteriorPoste Restaurant and Bar di Gedung East di Kawasan Lingkar Mega Kuningan, Jakarta Selatan.
Sarie Febriane addapted by Kevin
Di Jakarta, tempat ”kongkow” seperti restoran dan bar tak cukup hanya menjanjikan kenikmatan makanan dan minumannya. Atmosfer ruangan harus diciptakan melalui tata ruang yang berkarakter dan membuat betah.
Tata ruang restoran dan bar seperti apa yang kini menggejala di Jakarta, yang konon senang berdandan serba gemerlap ini?
Bagi kaum urban Jakarta, khususnya kalangan eksekutif muda alias ”eksmud”, tempat nongkrong yang asyik bukanlah tempat yang serba bling-bling alias gemerlapan. Tempat nongkrong yang nyaman justru yang tampil lebih sederhana, bahkan ”diusang-usangkan”. Meski begitu, sentuhan selera yang berkelas tetap terlihat.
Poste Restaurant and Bar di East Building di kawasan bisnis elite di Mega Kuningan, misalnya, mendesain ruangnya jauh dari unsur kegemerlapan. Interior Poste yang baru direnovasi itu didesain oleh Alvin Tjitrowirjo, yang selama ini dikenal sebagai desainer produk. Poste merupakan karya Alvin perdana untuk desain interior.
Pemilihan material, mulai dari lantai, dinding, perabot, hingga pernak-pernik ruangan, menghadirkan atmosfer yang serba kosmopolitan, bohemian, santai, dan tak berlebihan. Warna-warna netral, seperti putih, abu-abu, kecoklatan, dan hitam, berserak di berbagai penjuru ruangan dalam komposisi yang pas.
Alvin misalnya memilih lantai berwarna abu-abu usang, dinding bata ekspos berwarna putih, kayu bekas peti kemas coklat muda untuk lemari minuman di meja bar, kursi kayu coklat tua berlekuk sederhana, kartu-kartu pos tua sebagai penghias dinding, hingga koper-koper tua yang telah usang.
”Konsep haute bohemian yang memang ingin kita tampilkan sehingga pengunjung merasakan suasana yang nyaman dan santai, tetapi tetap berkelas,” kata Alvin.
Seluruh material diatur dalam komposisi yang tak berlebihan, tidak menor. Berbagai ornamen serba vintage (berkesan usang dan kuno) dari berbagai negara dihadirkan secukupnya sehingga tidak membuat keseluruhan ruangan menjadi serupa museum ataupun galeri pameran.
Hal itu boleh jadi karena area kosong tetap dihadirkan sedemikian rupa. ”Kekosongan” itu juga berkat dominasi warna putih dof melalui material seperti dinding bata ekspos, jendela-jendela besar berkaca bening yang membingkai area hijau di luar restoran, meja makan marmer, hingga meja bar.
”Meskipun ada nuansa tradisional, kuno, tetapi tidak ditampilkan berat sehingga secara keseluruhan, penampilannya tidak seperti berteriak,” imbuh Justina S Harjono, pemilik Poste.
Di ruang bagian dalam yang dibingkai oleh jendela-jendela besar, corak geometris lantai tampil lebih berwarna dengan paduan hitam, merah, putih, dan kuning tua. Ubin tersebut menurut Alvin dipesan di Yogyakarta dan dikerjakan satu per satu oleh perajin tradisional. Meski berwarna lebih ramai, ubin dibiarkan tampak kusam, tidak dipoles.
Berkarakter industrial
Keusangan juga tampak kuat dalam penataan ruang di restoran dan bar Potato Head, yang juga di kawasan bisnis, Pacific Place, SCBD. Restoran dan bar ini juga menyasar kalangan bisnis berusia muda, baik lokal maupun ekspatriat, utamanya yang berkantor di SCBD.
Emmelyn Gunawan, humas Potato Head (PH) mengatakan, konsep desain PH adalah industrial setting di awal era 1930-an. Kesan vintage yang usang dipadukan dengan unsur modern dari meja makan serta kursi Tolix dan Thonet dari Perancis. Desain PH digarap oleh Andra Martin dengan mengadaptasi gagasan dari kedua pemilik PH, Jason Gunawan dan Ronald Akili.
”Kami ingin pengunjung merasa berada di dunia yang playful dan quirky. Jadi, rasanya bisa santai,” kata Emmelyn.
Unsur keusangan itu tampak pada pemilihan material, seperti potongan jendela dan pintu krepyak tua, tegel abu-abu dalam potongan kecil buatan Yogyakarta, pintu kayu yang mengelupas, lemari hijau dari rumah sakit tua di Perancis, sampai pagar besi yang sudah berkarat. Karat pada pagar besi di lantai dua restoran malah dipelihara dengan dilapisi cairan khusus. Lampu-lampu gantung di sepanjang meja bar juga dimodifikasi dari bekas hidung mesin pesawat terbang tua di tahun 1930-an.
”Seluruh material dikumpulkan dari berbagai pelosok di Indonesia, Perancis, dan Melbourne (Australia),” kata Emmelyn.
Dalam hal pencahayaan ruang, baik Poste maupun Potato Head sama-sama memanfaatkan pencahayaan alami di siang hari dan pencahayaan tak langsung di malam hari. Pencahayaan alami itu berkat jendela-jendela berukuran besar di Poste dan pemanfaatan area teras di Potato Head. Pencahayaan tak langsung dimainkan dengan cara membiaskannya ke dinding sehingga kesan dramatis muncul.
Dengan penataan yang tak berlebihan, material serba usang rupanya secara keseluruhan mampu tampil berselera dan berkarakter. Tanpa lantas menimbulkan kesan berat dan membikin jenuh.